Kehidupanku setelah Menikah-Di balik perjuangan seorang ibu "Titi Marsutji Binti Iskak" Part 4


KEHIDUPAN RUMAH TANGGAKU DI JAKARTA



DI RUMAH KONTRAKAN

Kami memulai kehidupan berumah tangga di Jakarta dengan sangat sederhana. Kami hidup di rumah kontrakan kecil di sebuah gang Rawasari, cempaka putih. Rutinitaspun kami lalui dirumah kecil itu.

Aku memang anak yang paling kecil, tetapi ibuku tidak pernah memanjakan aku. Sejak aku kuliah, hingga bekerja aku diajarkan untuk mandiri, segala sesuatu aku lakukan dan putuskan sendiri. Ibuku tidak pernah mengatur hidupku, kemanapun dan apapun yang aku lakukan sepanjang itu baik untuk aku, ibuku hanya memberikan dukungan dan doa.

Alhamdulillah setelah 2 bulan menikah, aku mengandung anak pertama. Hingga usia kandungan 9 bulan, setiap hari aku berangkat kerja naik turun bis Metromini. Kehidupan seperti ini biasa aku alami dari kecil, kemanapun aku dan ibu pergi selalu naik angkutan umum, akupun jadi lumayan hafal rute bis daerah yang biasa aku pergi sama ibu, kebayoran, cililitan, kampung rambutan. Karena itu aku tidak ada rasa takut atau khawatir, untuk aku berjalan melewati jembatan penyeberangan yang panjang, berisiknya suara kendaraan lalu lalang, debu asap hitam motor dan kendaraan lain, hujan atau panas menunggu bis metromini di pinggir jalan Cempaka putih tempat aku kontrak rumah.

Kontrakanku sangat kecil mungil, hanya berkamar satu, dapurpun sangat kecil, kamar mandi hanya untuk orang yang langsing, gemuk sedikit gak akan muat, karena sangat mungil dan toiletpun harus jongkok. Kebayang kan bagaimana susahnya aku, sedang hamil harus menggunakan toilet jongkok.
Kalo siang hari, di dalam rumah seperti sauna, puanasnya poll...karena beratap asbes dan seng. Awalnya dinikmati saja, dengan bermodal kipas angin godek-godek bisa menyejukkan rumah sesaat, tetapi pada saat aku mengandung, duh nggak kuat, keringatnya seperti orang habis lari maraton, mandi keringat. Akhirnya kami memutuskan beli AC bekas di pasar senin untuk di dalam kamar, Alhamdulillah .

Kenangan lain saat tinggal di Rawasari, waktu sabtu atau minggu pagi menunggu tukang sayur lewat dan aku keluar hanya dengan memakai daster, membeli sayuran dari gerombak tukang sayur, ngobrol dengan ibu-ibu gang Rawasari. Sudah seperti di film sinetron, dan aku mengalaminya, ibu-ibu tetangga saling berteguran, ada yang tanya, pengantin baru ya mbak? Udah berapa bulan hamilnya, baru pindah kesini? suami kerja? mbaknya kerja juga?. Wah pokoknya seperti di introgasi deh. Tapi alhamdulillah tetangga baik-baik. Ada juga ibu-ibu yang jualan nasi uduk di setiap paginya, enak banget, dibungkus dengan daun dan kertas koran, nasi uduk bihun sambel kacang, jadi menu sarapan kami pagi-pagi.

Pada saat aku mengandung anak pertama, aku tidak suka bau-bau yang menyengat. Untuk keluar dari gang ke jalan besar aku harus melewati tempat penjagalan ayam, bau nya sampai sekarang masih terbayang, untuk itu aku cari jalan yang lebih jauh untuk menghindari jalan ini. Kalo lagi terpaksa capek tidak mau jalan jauh, terpaksa aku harus melewati jalan yang bau itu, sebelum lewat ambil ancang-ancang, Bismillah, aku tutup hidung dan lari, supaya gak muntah-muntah setelahnya. Hidupku saat itu penuh perjuangan, tetapi sangat indah dan lucu untuk dikenang, dan membuat aku harus lebih bersyukur atas apa yang aku miliki setiap harinya.

KERUSUHAN MEI 1998

Teringat peristiwa kerusuhan bulan Mei 1998 Aku lagi hamil masuk 8 bulan waktu itu. Cempaka Putih  Rawasarin termasuk yang paling parah, banyak penjarahan dan pembakaran pasar-pasar di sekitar kontrakan tempat tinggal aku. Pada saat sebelum kejadian, aku pagi-pagi berangkat kantor, karena aku tidak tahu bahwa akan separah itu. Sampai kantor ada kabar kerusuhan di beberapa area di Jakarta, seluruh karyawan disuruh pulang cepat, terutama aku yang sedang mengandung. Alhamdulillah aku bisa sampai rumah sebelum seluruh daerah di Jakarta rusuh. Masya Allah, aku udah takut aja, bagaimana ini kalo anakku mbrojol pada saat kerusuhan seperti ini, di usia kehamilanku yang baru 8 bulan. Dan juga aku sempat panik menunggu suamiku yang baru sampai rumah sore harinya. Kata suamiku, demo sudah dimana-mana, dan sesampainya di mulut gang Rawasari, banyak orang di sana, mereka adalah orang-orang yang tinggal di gang berjaga-jaga agar perusuh tidak masuk dan bikin onar di kampung Rawasari. Jadi alhamdulillah gang rumah kami aman dari perusuh. Ibuku pun sangat khawatir dengan kondisiku, karena di daerah Slipi kerusuhan sama bahayanya. Para pendemo membakar Mall Slipi Jaya, dan banyak korban disana, karena orang-orang yang menjarah Mall, terbakar hidup-hidup disana, Astaghfirullah, sepertinya ini kejadian terburuk yang pernah aku rasakan selama aku hidup di Jakarta. Karena pengalaman ini, di akhir-akhir kehamilanku, ibu menyuruh aku untuk tinggal di rumah ibu. Tempat kerja yang jauh dari rumah ibu, aku bisa nebeng dengan bosku yang rumahnya tidak terlalu jauh dengan aku. 

Di masa akhir kehamilan, setiap pagi ibu yang mengantar jalan-jalan pagi supaya aku lancar melahirkannya, ibu yang memperhatikan aku, sampai aku melahirkan bulan Juli, ibu dan suamiku ada disamping aku. Setelah melahirkan dan anakku yang pertama berumur 1 tahun, aku pindah kontrakan dekat rumah ibu. Di situ aku melihat ibu sangat ingin aku tetap tinggal bersama ibu. Tapi karena sudah berkeluarga aku ingin mandiri, walaupun masih kontrak, aku ingin menata rumah tangga aku sendiri. Aku lihat ibu sedih tidak ingin aku pindah, tetapi setelah kakakku yang paling besar kasih pengertian ke ibu, akhirnya ibu membolehkan aku pindah ke rumahku sendiri.

Menjalani karir dan sekaligus menjadi ibu bagi anak-anakku di Jakarta, sulit buat aku untuk berbagi waktu. Aku lebih banyak mengurusi pekerjaan kantor, berangkat pagi, pulang malam, weekend pun diisi dengan bekerja. Bisa di bilang anak-anakku lebih banyak bermain dengan baby sitter dan pembantu. Kadang ada rasa bersalah dalam hati aku, tapi rasa itu tertutup dengan pekerjaan kantor yang menumpuk. Bermain meluangkan waktu untuk anak-anak hanya ada disela-sela waktu sibukku. Terkadang aku harus membawa anakku ke kantor karena tidak ada waktu di rumah untuk bermain dengan si kecil. 

DILEMA SEORANG IBU PEKERJA

Dilema seorang ibu bekerja di Jakarta, sebenarnya sebuah pilihan. Bagaimana cara kita berbagi waktu, tetapi dari yang aku alami sangat sulit. Mungkin juga karena pengalaman kecilku, yang memiliki figur ibu yang pekerja keras. Ibu bekerja di rumah, menjahit adalah pekerjaan utamanya. Aku selalu bermain sendiri, ibu hanya mengawasi aku sambil bekerja. Dan itu yang aku lakukan selama aku berkeluarga dan bekerja di Jakarta. Hidupku hanya untuk bekerja, sampai terkadang aku kehilangan masa-masa emas anakku yang pertama dari lahir hingga usia 6 tahun. Jangan di contoh ya, masih banyak ibu pekerja yang bisa membagi waktu dengan baik antara kerja dan keluarga. Aku bukan contoh yang baik. 

Jarak rumah kontrakanku dengan rumah ibu, tidak terlalu jauh, naik bajaj dari rumah ibu ke rumahku juga bisa.  Tidak jarang ibuku datang ke rumah, hanya untuk menyapa nonton tv dan bermain sama cucu-cucunya. Alhamdulillah ada yang membantu mengawasi anak2ku selama aku di kantor. 

Aku bekerja di sebuah perusahaan besar Astra International sebagai seorang trainer. Pekerjaanku adalah sebagai program manager, menyiapkan kurikulum, menyiapkan materi dan mengaajar para karyawan Astra. Rutinitasku, setiap pagi sebelum anak2 berangkat sekolah, aku sudah harus berangkat, dan pulang sudah sangat malam, karena terkadang aku sengaja pulang larut malam, untuk menghindari macetnya ibukota. Jarak Rumah dan Kantor, Kemanggisan Jakarta Barat ke Sunter, lumayan jauh. Belum lagi kalo hujan, dan jalanan banjir. Bisa tengah malam baru sampai rumah. 

Sedih sebenarnya, kalo melihat balik kebelakang, dan sayangnya tidak bisa lagi kembali diputar dari awal. Banyak hal yang terlewat dari masa pertumbuhan anakku yang pertama. Sejak Amara lahir, umur 3 bulan setelah cuti melahirkan, aku tinggal ke Batam selama 3 minggu untuk urusan pekerjaan. Sampai akhirnya air susuku mengering, karena aku sibuk dengan pekerjaan. Maafkan mama ya nak. 




Setelah 5 tahun anak pertama lahir, Amara Wibowo, aku dikaruniai anak kedua Hafiz. Kehidupanku terasa sempurna.Memiliki anak sepasang yang sehat dan karir yang bagus. Suatu ketika di akhir tahun 2003, suamiku memberi kabar, bahwa dia diterima di salah satu universitas di Iowa, Amerika Serikat. Untuk bekerja di luar negeri sudah menjadi impian suamiku sejak dulu, tetapi untuk pergi ke Amerika saja, tidak pernah terpikirkan karena biayanya pasti sangat besar. Jadi aku berpikir itu hanya impian saja. Setelah mendengar suamiku keterima di universitas di Amerika, ada rasa senang ada rasa bingung, karena bagaimana kehidupan kami kedepannya. Suamiku di terima di universitas yang menawarkan program internship, jadi bisa mendapat peluang besar kerja di US. 

Bismillahirrahmanirrahim di bekali niat, karena ini sudah menjadi impian besar suamiku untuk sekolah dan kerja di Amerika, suamiku berangkat lebih dahulu. Aku hanya akan menyusul, setelah suamiku dapat pekerjaan dari internship program kuliahnya. Alhamdulillah semua berjalan lancar, bulan Mei 2004 Suamiku berangkat dan bulan Desember 2004 aku menyusul setelah suamiku diterima kerja di perusahaan konsultan cukup besar di Tyson, Virginia. 

Berat meninggalkan keluarga di Indonesia, ada keraguan juga dari ibuku, kata ibu waktu itu, "Apa kamu bisa ngurus anak, apa perlu kamu bawa baby sitter kamu kesana?....Benar kamu sanggup". Aku juga deg-degan sih, nggak pernah mengurus anak seorang diri, dan di Amerika aku mengurus rumah tanggaku sendiri, jangan pernah membayangkan akan ada supir, pembantu dan baby sitter di Amerika. 10 tahun karir ku di Astra harus aku tinggalkan, aku harus siap penuh menjadi ibu rumah tangga. Pheeww...pada waktu itu aku sampai nggak mau membayangkan...bagaimana nanti aja, bismillah dijalankan saja. 

Comments

Popular posts from this blog

Doa Majelis

Kupenuhi PanggilanMu ya Allah

Perjuangan seorang ibu "Titi Marsutji Binti Iskak" (Part 1)