Perjuangan seorang ibu "Titi Marsutji Binti Iskak" (Part 1)

   
9 bulan seorang ibu mengandung, tentunya merupakan anugrah yang paling indah, tetapi juga sebuah pengorbanan. Membayangkan banyak sekali yang dialami seorang ibu pada saat mengandung. Mulai dari badan yang mudah letih, mual setiap pagi hari, beban berat harus membawa calon bayi dalam perutnya, kaki menjadi bengkak, punggung sakit, tidur pun sulit. Masya Allah, belum lagi emosi yang bergejolak, khawatir akan terjadi sesuatu pada calon bayi,  berdoa siang malam memohon kepada Allah diberikan bayi yang lahir sehat dan sempurna. Terkadang ibu berdoa lebih banyak untuk sang calon bayi daripada untuk dirinya sendiri. Dengan rasa seperti itu, seorang ibu tidak pernah mengeluh, dia tetap menjaga kehamilannya dengan sebaik-baiknya menanti buah hatinya lahir sehat ke dunia.

Terbayang betapa beratnya perjuangan yang harus dialami seorang ibu yang tengah mengandung dan juga memiliki 3 anak yang masih kecil-kecil, dan disaat yang sama Allah memberikan cobaan dengan sakitnya sang Suami, Leukeumia stadium akhir. Mungkin ibu tidak banyak cerita, apa yang dia rasakan. Tapi bisa dipastikan ada rasa khawatir, apa yang akan terjadi kedepannya.

Di akhir kehamilan ibu, harus menjalaninya tanpa pendamping, karena sang suami harus berobat ke negara nun jauh diseberang, Memorial Hospital of New York. Segala upaya telah dilakukan, hingga akhirnya pengobatan ditempuh hingga jauh ke luar.

Perjuangan seorang ibu tidak berhenti pada saat mengandung, justru perjuangan terbesar adalah pada saat melahirkan. Seorang ibu mempertaruhkan nyawa, untuk bisa melahirkan seorang bayi yang sehat ke dunia. Sampai-sampai Nabi Muhammad Saw, memberi jaminan, resiko apapun yang diderita wanita ketika hamil, terutama yang mengancam kematian, akan dinilai sebagai syahid. Masya Allah.

Tanggal 7 Februari 1972, lahirlah seorang bayi di sebuah RS Jakarta. Bayi mungil yang cantik putih bersih, sempurna. 😍. Itulah Aku.....iyaaa....Aku.....

Terlihat dari foto wajahnya ibu tersenyum seperti senyumnya "Monalisa" penuh misteri. Ada rasa syukur, bahagia, sedih, khawatir....sepertinya itu yang dirasakan ibu.




Pernah suatu kali ibu bercerita, bahwa ibu hamil aku tanpa disangka-sangka, karena setelah kakak aku yang terakhir ibu sudah selamatan, kalo orang Jawa bilangnya di ruwat. Tetapi pada waktu itu ada orang tua yang mengatakan ke ibu, bahwa ibu akan mendapatkan anak lagi yang terakhir. Ternyata setelah 10 tahun...lahirlah akuuu...iyaa...akuuuu.

Foto itu dikirimkan ibu ke Amerika untuk ditunjukkan ke bapak, karena ibu meminta doa restu untuk nama yang akan diberikan kepadaku. Dan bapak memberikan nama HERDYANING PRIHATINI. Seperti yang tertulis dibalik foto itu. Tetapi nama belakangnya diganti dengan Koesdarso, karena eyangku tidak mau aku jadi Prihatin terus mengingat aku lahir tanpa kehadiran seorang bapak.




Bulan April ibu menerima surat-surat cinta dari bapak, yang menggambarkan betapa sakit dan sulitnya keadaan bapak. Betapa bapak rindunya dengan ibu dan anak-anak. Tetapi bapak menerus berjuang untuk sembuh.




Dan pada akhirnya ibu harus pergi ke Amerika untuk mendampingi bapak dimasa-masa sulitnya. Anak-anak harus dititipkan kepada pembantu di rumah.

Ibu selalu bercerita bagaimana ibu sudah pernah ke Amerika pada tahun 1972 sendiri. dengan bermodal bahasa Inggris pas-pasan walaupun menurut ibu, bahasa inggrisnya "Not Bad", karena eyang (ibunya ibu) adalah guru bahasa inggris dan bisa berbahasa Belanda dengan fasih. Pengalaman yang luar biasa buat ibu, yang menurut ibu, ibu harus transit ke Eropa, naik bis transit ke airport lain.

Perjuangan ibu tidak berakhir disitu, ibu pernah cerita, bagaimana ibu mendampingi bapak pada saat kemoterapi, sakit, dengan berbagai kondisi. Dulu pernah ada film judulnya "Dying Young" Julia Robert pemainnya. Ibu pernah bilang...ibu persis Julia Roberts seperti itu...katanya. "Duh iya deh..ibu juga mirip Julia Robert kok waktu muda....rambutnya keriting2 gitu", kataku.

Saat ibu di Amerika, pada waktu itu bapak hampir saja akan pulang ke Indonesia, dokter sudah memberikan ijin, situasi penyakit bapak sedang dalam keadaan tenang, sel-sel kankernya sedang tidur karena proses treatment yang di lalui bapak. Napsu makan sudah kembali normal, ibu bilang, bapak minta bakso, bubur ayam di China town NY.  Tetapi saat akan pulang bapak mengalami pendarahan yang sangat hebat, ibu menceritakan pembuluh darah bapak pecah😭.

Sulit membayangkan bagaimana situasi ibu pada saat itu, pastinya sedih sekali, karena sudah berharap akan berkumpul kembali bersama anak-anak di Indonesia, tetapi Allah lebih sayang kepada bapak. Innalillahi wainaillahi rojiun. Bapak meninggal tanggal 10 Juli 1972. Ibu pulang ke Indonesia dengan membawa jenazah bapak. Dan bapak dimakamkan di Jogja Kuncen. Kakakku pernah bercerita, aku yang pada waktu itu berumur 5 bulan, menangis terus selama proses jenazah bapak datang sampai dikuburkan.


Inilah foto terindah yang pernah kudapatkan, lihat wajah ibu, tidak terlihat suram sedih selalu tersenyum, padahal ibu baru saja ditinggal bapak. Kami anak-anak ibu,  Heru Putranto, Heratri Zulfianti, Herimawan Luckyanto dan aku Herdyaning Koesdarso. Hanya aku yang memiliki nama bapak di belakang, Koesdarso.

Ibu pernah bilang, bahwa situasi setelah bapak meninggal, ibu sangat Galau. Ibu bingung bagaimana bisa menghidupi anak-anaknya, sedangkan ibu tidak bekerja. Bapak juga wiraswasta, tidak punya pensiun atau apapun yang ditinggalkan. Ibu cerita pada waktu itu pernah ibu naik bis dari Slipi, keliling kemanapun bis itu membawa ibu pergi, ibu gak turun-turun, sambil ibu berpikir, bagaimana nasib ibu dan anak-anak besok...apa yang ibu harus lakukan. Ibu menjual satu persatu harta yang ditinggalkan, alhamdulillah ibu tidak menjual rumah bapak, rumah tempat tinggal kami. Dan ibupun mendapat saran dari tetangga, teman-teman ibu untuk menjahit.

Ibu bilang, ibu belajar menjahit sendiri, dengan segala kemampuan ibu. Ibu itu lulusan sarjana Sejarah, pernah menjadi guru, pernah bekerja jadi jurnalistik, pernah juga kursus kecantikan. Tetapi ibu dilarang bapak untuk bekerja. Karena pengalaman ibu ini, ibu pernah berpesan sama aku,
"Sebagai seorang ibu harus mandiri, punya ketrampilan,  harus kuat,  harus siap dengan segala kondisi apapun dan harus bangkit demi anak-anaknya ".

Ibupun membesarkan anak-anaknya dengan menjahit baju. Aku punya pengalaman waktu SD suatu ketika pulang sekolah aku menangis, ibu tanya 'kenapa ndok..nangis?" Aku bilang "ibu teman-teman pada ngeledekin "Dyan anaknya Tukang Jahit". Aku maluuu. Ibu sih ngisi di form sekolah bilangnya pekerjaan TUKANG JAHIT. Ibu bilang..."lhoo emang ibu Tukang Jahit kok kenapa musti malu?, ibu musti tulis apa?. Aku bilang "Kan bisa tulis Designer, Tailor, seperti tukang jahit pasar tuh..namanya Tailor..kan lebih keren". Ibuku cuma tersenyum. Pesan ibu, yang penting pekerjaan itu halal, ibu tukang jahit, tapi bisa menyekolahkan kamu.

Selain menjahit Ibu juga berjualan es mambo, es puding, es batu. Cerita ibu, mbok Yah, pembantu ibu sering menggendong aku dibelakang, saat mbok Yah harus masak bikin es mambo.... Waaah itu kalo kecemplung....bisa kayak Obelix yang kecemplung ramuan kuat. hehe
Ibu menitipkan jualannya ke sekolah-sekolah, terkadang kakak2 aku yang disuruh berjualan es mambo. Kalo inget ini jadi tersenyum geli, karena kakakku berjualan sambil berbisik..esss...ess...., siapa yang mau beli, kalo jualannya cuma bisik2 gitu, belum lagi sampai rumah esnya habis dimakan sendiri😅........

BERSAMBUNG....ISTIRAHAT (kayak bioskop jaman dulu)



Comments

  1. Assalamu'alaikum Mbak Dyan, saya Annif Daniar mantan anak didik di AMDI tahun 2000, semoga masih ingat hehe

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Doa Majelis

Kupenuhi PanggilanMu ya Allah

Jodohku-Dibalik Perjuangan Seorang Ibu "Titi Marsutji Binti Iskak" (Part 3)