FIQH CANDA DAN HUMOR
Dr. Setiawan Budi Utomo.
FIQH CANDA DAN HUMOR
Hidup terasa hambar dan datar tanpa humor dan canda bagaikan masakan tanpa garam. Namun hanya dalam kadar kuantitas, kualitas dan penyajian tertentu akan menjadi penyedap kehidupan. Memang bercanda kadang diperlukan untuk memecahkan kebekuan suasana sebagaimana yang dikatakan Said bin Al-’Ash kepada anaknya. “Kurang bercanda dapat membuat orang yang ramah berpaling darimu. Sahabat-sahabat pun akan menjauhimu.” Namun canda juga bisa berdampak negatif, yaitu apabila canda dilakukan melampaui batas dan keluar dari ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Canda yang berlebihan juga dapat mematikan hati, mengurangi wibawa, dan dapat menimbulkan rasa dengki.
Allah Swt. berfirman, Artinya: “Dan sesungguhnya Dia-lah yang membuat orang tertawa dan menangis” (QS An-Najm: 43).
Menurut Ibnu ‘Abbas, berdasarkan ayat ini, canda dengan sesuatu yang baik adalah mubah (boleh). Rasulullah Saw. pun sesekali juga bercanda, tetapi Rasulullah Saw. tidak pernah berkata kecuali yang benar. Imam Ibnu Hajar al-Asqalany menjelaskan ayat di atas bahwa Allah Swt. telah menciptakan dalam diri manusia tertawa dan menangis. Karena itu silakanlah Anda tertawa dan menangis, namun tawa dan tangis kita harus sesuai dengan aturan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw.
Berikut ini adalah kaidah fiqih terkait canda dan humor sebagai panduan agar canda dan humor bernilai dan berdampak positif dan tidak justru berdampak dan bernilai negatif seperti menimbulkan luka hati atau ketersinggungan orang lain.
1. Tidak menjadikan simbol-simbol Islam (tauhid, risalah, wahyu dan dien) sebagai bahan gurauan. Firman Allah: “Dan jika kamu tanyakan mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” (QS. at-Taubah:65)
2. Jangan menjadikan kebohongan dan mengada-ada sebagai alat untuk menjadikan orang lain tertawa, seperti April Mop di masa sekarang ini. Sabda Rasulullah saw: “Celakalah bagi orang yang berkata dengan berdusta untuk menjadikan orang lain tertawa. Celaka dia, celaka dia.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan Hakim)
3. Jangan mengandung penghinaan, meremehkan dan merendahkan orang lain, kecuali yang bersangkutan mengizinkannya. Firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan); dan jangan pula wanita mengolok-olokkan wanita-wanita lain., karena boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan); dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan jangan pula kamu panggil-memanggil dengan gelar yang buruk. Seburuk-buruk gelar ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman..” (QS. al-Hujurat:11) “Cukuplah keburukan bagi seseorang yang menghina saudaranya sesama muslim.” (HR. Muslim)
4. Tidak boleh menimbulkan kesedihan dan ketakutan terhadap orang muslim. Sabda Nabi saw: “Tidak halal bagi seseorang menakut-nakuti sesama muslim lainnya.” (HR. ath-thabrani) “Janganlah salah seorang di antara kamu mengambil barang saudaranya, baik dengan maksud bermain-main maupun bersungguh-sungguh.” (HR. Tirmidzi)
5. Jangan bergurau untuk urusan yang serius dan jangan tertawa dalam urusan yang seharusnya menangis. Tiap-tiap sesuatu ada tempatnya, tiap-tiap kondisi ada (cara dan macam) perkataannya sendiri. Allah mencela orang-orang musyrik yang tertawa ketika mendengarkan al-Qur’an padahal seharusnya mereka menangis, lalu firman-Nya: “Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu menertawakan dan tidak menangis. Sedang kamu melengahkannya.” (QS. an-Najm:59-61). Hendaklah gurauan itu dalam batas-batas yang diterima akal, sederhana dan seimbang, dapat diterima oleh fitrah yang sehat, diridhai akal yang lurus dan cocok dengan tata kehidupan masyarakat yang positif dan kreatif.
6. Islam tidak menyukai sifat berlebihan dan keterlaluan dalam segala hal, meskipun dalam urusan ibadah sekalipun. Dalam hal hiburan ini Rasulullah memberikan batasan dalam sabdanya; “Janganlah kamu banyak tertawa, karena banyak tertawa itu dapat mematikan hati.” (HR. Tirmidzi). “Berilah humor dalam perkataan dengan ukuran seperti Anda memberi garam dalam makanan.” (Ali ra.). “Sederhanalah engkau dalam bergurau, karena berlebihan dalam bergurau itu dapat menghilangkan harga diri dan menyebabkan orang-orang bodoh berani kepadamu, tetapi meninggalkan bergurau akan menjadikan kakunya persahabatan dan sepinya pergaulan.” (Sa’id bin Ash).
a.n Sub.Dep. Dakwah
FIQH CANDA DAN HUMOR
Hidup terasa hambar dan datar tanpa humor dan canda bagaikan masakan tanpa garam. Namun hanya dalam kadar kuantitas, kualitas dan penyajian tertentu akan menjadi penyedap kehidupan. Memang bercanda kadang diperlukan untuk memecahkan kebekuan suasana sebagaimana yang dikatakan Said bin Al-’Ash kepada anaknya. “Kurang bercanda dapat membuat orang yang ramah berpaling darimu. Sahabat-sahabat pun akan menjauhimu.” Namun canda juga bisa berdampak negatif, yaitu apabila canda dilakukan melampaui batas dan keluar dari ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Canda yang berlebihan juga dapat mematikan hati, mengurangi wibawa, dan dapat menimbulkan rasa dengki.
Allah Swt. berfirman, Artinya: “Dan sesungguhnya Dia-lah yang membuat orang tertawa dan menangis” (QS An-Najm: 43).
Menurut Ibnu ‘Abbas, berdasarkan ayat ini, canda dengan sesuatu yang baik adalah mubah (boleh). Rasulullah Saw. pun sesekali juga bercanda, tetapi Rasulullah Saw. tidak pernah berkata kecuali yang benar. Imam Ibnu Hajar al-Asqalany menjelaskan ayat di atas bahwa Allah Swt. telah menciptakan dalam diri manusia tertawa dan menangis. Karena itu silakanlah Anda tertawa dan menangis, namun tawa dan tangis kita harus sesuai dengan aturan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw.
Berikut ini adalah kaidah fiqih terkait canda dan humor sebagai panduan agar canda dan humor bernilai dan berdampak positif dan tidak justru berdampak dan bernilai negatif seperti menimbulkan luka hati atau ketersinggungan orang lain.
1. Tidak menjadikan simbol-simbol Islam (tauhid, risalah, wahyu dan dien) sebagai bahan gurauan. Firman Allah: “Dan jika kamu tanyakan mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” (QS. at-Taubah:65)
2. Jangan menjadikan kebohongan dan mengada-ada sebagai alat untuk menjadikan orang lain tertawa, seperti April Mop di masa sekarang ini. Sabda Rasulullah saw: “Celakalah bagi orang yang berkata dengan berdusta untuk menjadikan orang lain tertawa. Celaka dia, celaka dia.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan Hakim)
3. Jangan mengandung penghinaan, meremehkan dan merendahkan orang lain, kecuali yang bersangkutan mengizinkannya. Firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan); dan jangan pula wanita mengolok-olokkan wanita-wanita lain., karena boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan); dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan jangan pula kamu panggil-memanggil dengan gelar yang buruk. Seburuk-buruk gelar ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman..” (QS. al-Hujurat:11) “Cukuplah keburukan bagi seseorang yang menghina saudaranya sesama muslim.” (HR. Muslim)
4. Tidak boleh menimbulkan kesedihan dan ketakutan terhadap orang muslim. Sabda Nabi saw: “Tidak halal bagi seseorang menakut-nakuti sesama muslim lainnya.” (HR. ath-thabrani) “Janganlah salah seorang di antara kamu mengambil barang saudaranya, baik dengan maksud bermain-main maupun bersungguh-sungguh.” (HR. Tirmidzi)
5. Jangan bergurau untuk urusan yang serius dan jangan tertawa dalam urusan yang seharusnya menangis. Tiap-tiap sesuatu ada tempatnya, tiap-tiap kondisi ada (cara dan macam) perkataannya sendiri. Allah mencela orang-orang musyrik yang tertawa ketika mendengarkan al-Qur’an padahal seharusnya mereka menangis, lalu firman-Nya: “Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu menertawakan dan tidak menangis. Sedang kamu melengahkannya.” (QS. an-Najm:59-61). Hendaklah gurauan itu dalam batas-batas yang diterima akal, sederhana dan seimbang, dapat diterima oleh fitrah yang sehat, diridhai akal yang lurus dan cocok dengan tata kehidupan masyarakat yang positif dan kreatif.
6. Islam tidak menyukai sifat berlebihan dan keterlaluan dalam segala hal, meskipun dalam urusan ibadah sekalipun. Dalam hal hiburan ini Rasulullah memberikan batasan dalam sabdanya; “Janganlah kamu banyak tertawa, karena banyak tertawa itu dapat mematikan hati.” (HR. Tirmidzi). “Berilah humor dalam perkataan dengan ukuran seperti Anda memberi garam dalam makanan.” (Ali ra.). “Sederhanalah engkau dalam bergurau, karena berlebihan dalam bergurau itu dapat menghilangkan harga diri dan menyebabkan orang-orang bodoh berani kepadamu, tetapi meninggalkan bergurau akan menjadikan kakunya persahabatan dan sepinya pergaulan.” (Sa’id bin Ash).
a.n Sub.Dep. Dakwah
Comments
Post a Comment