Ilmu bagi Wanita, Sebuah Keharusan*

M. Syamsi Ali

‘Allah meninggikan orang-orang yang beriman dan menunutut ilmu dalam beberapa derajat’ (ayat).

‘Menuntut ilmu adalah kewajiban atas setiap Muslim (pria dan wanita)’ (hadits)

‘Barangsiapa yang menghendaki kebaikan dunia, hendaklah berilmu. Barangsiapa yang menghendaki kebaik Akhirat, hendaklah beilmu. Dan barangsiapa yang menghendaki kebaikan dari keduanya, hendak pula dengan ilmu’ (hadits).

Jika kita mengingat kembali sejarah sebelum ketibaan Islam di kota Mekah, akan didapati betapa kegelapan saat itu menyelimuti kehidupan penduduk kota tersebut. Salah satu bentuk kegelapan itu adalah pandangan dan perlakukan terhadap kaum hawa yang sama sekali tidak manusiawi. Mereka tidak lebih dari sebuah objek kaum Adam, yang terkadang pula melampaui batas-batas kewajaran sebagai manusia.

Walaupun ada wanita-wanita pengecualian, seperti Khadijah binti al-Khuwailid (kemudian menjadi isteri Rasulullah SAW, pada umumnya kaum wanita adalah segmen masyarakat yang ‘marginalized’ dan bahkan ‘oppressed’. Melakukan pembenahan diri, atau meminjam istilah modern ‘self empowerment’ dilihat sebagai pembangkangan terhadap tabiat kewanitaan.

Dan oleh karena hal-hal inilah yang menjadikan orang-orang Arab ketika itu, khususnya para pembesar, tidak menginginkan kehadiran anak-anak wanita di dalam keluarga mereka. Selain bisa menjadi sumber kehinaan, juga karena anak-anak wanita dianggap hanya beban keluarga dan masyarakat yang tidak dapat bermanfaat, khususnya di saat terjadi peperangan.

Di tengah tebalnya gulita kegelapan itulah cahaya kebenaran datang dengan terutusnya Rasul terakhir, Muhammad SAW. Beliaulah yang membawa ajaran tersebut dengan perubahan drastis dalam masyarakat, dari kegelapan kepada cahaya, dari kebodohan kepada peradaban. Wanita-wanita, tidak saja bahwa mereka kembali meraih penghormatan dan kesetaraan, justeru dalam banyak hal diberikan ‘privileges’ (kelebihan-kelebihan) demi terbentuknya ‘kesetaraan gender’ yang selama ini telah hilang.

Salah satu di antara kelebihan-kelebihan tersebut adalah diwajibkannya kepada mereka, sebagaimana kepada Muslim pria untuk menuntut ilmu, seperti yang dikutipkan pada pembukaan tulisan ini.

Wanita dan Pendidikan

Ada barangkali kekeliruan dalam melihat defenisi tentang pendidikan selama ini. Pendidikan seharusnya tidak saja dilihat pada jalur formal lewat bangku sekolah data universitas yang bergengsi. Ternyata pendidikan itu juga bisa dilakukan lewat jalur-jalur informal yang sesuai dengan keadaan seorang wanita. Saya melihat ini penting untuk koreksi, mengingat adanya juga kaum ibu yang merasa minder hanya karena tidak sempat duduk di bangku kuliah, tentu karena satu dan lain hal. Dan ketidak sempatan ini disebabkan buka karena ketidak inginan menunut ilmu, tapi memang karena adanya hal-hal terkait yang menjadikan mereka tidak duduk di bangku kuliah. Namun demikian, ibu-ibu tersebut tetap mendalami ilmu-ilmu yang diperlukan dalam melakukan fungsinya sebagai ‘abid’ (hamba) maupun ‘khalifah’ Allah di muka bumi.

Ada beberapa alas an yang dapat dikemukakan mengapa menuntut ilmu bagi kaum Ibu menjadi sangat penting:

Pertama, dalam pandangan Islam wanita dan pria tak ubahnya seperti dua sisi mata uang. Dan dalam membangun kesalehan, baik pada tataran individual maupun masyarakat, keduanya menjadi ‘supporting unit’ kepada satu dan lainnya. Inilah yang disebutkan dalam istilah Al-Qur’an ‘awliyaa’ antara satu dengan yang lain, seperti yang difirmankan: ‘Dan orang beriman laki-laki bersama orang beriman wanita, mereka adalah pendukung antara satu dengan yang lain’ (ayat).

Artinya dalam upaya membangun kesalehan di atas persada bumi ini, kedua sisi pelaku (pria dan wanita) harus sama-sama ‘equipped’ (dilengkapi) dengan hal-hal yang dibutuhkan dalam proses mewujudkan kesalehan (ibadah dan khilafah) tersebut. Dan sudah pasti bahwa ilmu adalah salah satu dari kebutuhan pokok tersebut.

Kedua, secara syar’i pun sesungguhnya menuntut ilmu adalah ‘fardh’ (kewajiban tertinggi, seperti yang telah disebutkan pada hadits terdahulu. Dan oleh karenanya, mengabaikan kewajiban ini adalah masuk dalam kategori dosa besar.

Inilah yang juga mendasari kenapa wanita-wanita Muslimah masa lalu banyak yang menjadi ulama besar, hampir dalam segala bidang ilmu pengetahuan. Mungkin contoh terdekat adalah isteri Rasulullah SAW sendiri, Aisya binti Abi Bakr RA, yang menjadi guru besar ilmu-ilmu Islam justeru bagi banyak sahabat-sahabat agung itu sendiri. Beliau, selain menghafal Al-Qur’an dan paham, juga menjadi perawi hadits terbesar ketiga dari kalangan sahabat-sahabat Rasulullah SAW. Bahkan ulama mengatakan ;kalau sekiranya bukan karena keilmuan Aisya RA, maka sungguh banyak masalah-masalah kewanitaan dan kekeluargaan yang tidak kita ketahui’.

Ketiga, dalam tatanan keluarga Muslim, wanita adalah pengelolah (manager) rumah tangga. Dan sudah pasti ini juga memerlukan ilmu yang tidak sedikit. Menejemen apa saja dalam hiudp ini memerlukan keahlian, dan keahlian itu tentunya didasari oleh keilmuan.

Oleh karenanya, seorang ibu diperlukan untuk memiliki kemahiran menejemen sehingga rumah tangga tersebut mampu berjalan secara ‘smooth’ (lancer). Jangan sampai hal ini dianggap remeh, karena betapa sering menimbulkan pangkal permasalahan rumah tangga itu sendiri.

Keempat, ada beberapa bidang kehidupan yang memang lebih layak/sesuai ditangani oleh kaum hawa itu sendiri. Dua di antara beberapa hal tersebut adalah pendidikan dini anak-anak dan ahli kesehatan (dokter) khusus bagi kaum wanita.

Dalam banyak hal, pendidikan dini anak-anak merupakan tahapan terpenting dalam upaya membangun karakter dan kepribadian manusia. Dan sudah pasti, karena tabiatnya, wanita ternyata lebih sesuai karena adanya beberapa ciri pada mereka yang tidak dimiliki oleh pria. Di antara ciri tersebut adalah kelembutan, kasih sayang, dan tentunya lebih menonjolnya kesabaran pada kaum wanita ketimbang kaum pria.

Kelima, dan ini yang paling urgent adalah wanita atau kaum Ibu adalah tangan-tangan pertama dan utama dalam menentukan wajah generasi masa depan. Kegagalan kaum wanita dalam tanggung jawab ini merupakan kegagalan generasi dan manusia secara keseluruhan. Inilah yang menjadikan Rasulullah SAW bersaba: ‘bahwa dalam sebuah bangsa, jika kaum wanita baik maka baiklah bangsa itu. Tapi sebaliknya, jika kaum wanitanya rusak, maka rusaklah bangsa tersebut’ (hadits).

Suatu ketika saya diundang untuk ceramah di sebuah majelis di kota New York tentang pendidikan anak. Ketika saya akan memulai ceramah saya bertanya ‘kok saya nggak melihat seorang pun wanita’. Pihak penyelenggara menjawab bahwa wanita mereka memang tidak biasanya menghadiri acara-acra seperti itu. Saya lalu bertanya ‘kaum pria yang hadir ini apakah mereka yang langsung terlibat dalam mendidik anak?’. Hampir semua terdiam, dan bahkan mengangguk.

Selanjutnya saya Tanya: ‘berapa di antara mereka nantinya yang akan menyampaikan ke isteri-isteri mereka hal-hal yang nantinya saya sampaikan?’. Juga hampir tak seorangpun yang mengangkat tangan. Saya kemudian mengatakan bahwa ceramah saya mala mini terasa kurang bermanfaat, walau dihadiri sekitar 200-an orang.

Sejarah membuktikan bahwa banyak orang-orang hebat terdahulu karena memang ibulah yang berada di belakang mereka. Siapa yang tidak mengenal Nabi Ishaq AS? Hajarlah yang membentuk kepribadian yang siap mengorbankan hidupnya sekalipun demi keridhoaan Allah SWT. Siapa yang tidak mengenal Musa AS? Ibunyalah yang menjadi factor tumbuhnya manusia pemberani ini. Pemberani dalam menyampaikan kebenaran walaupun kepada seorang dktator zalim semacam Firaun. Siapa yang tidak mengenal Isa AS? Ibunya yang penuh cinta dan kasih yang menumbuhkan kepribadian itu dalam menyampaikan risalah kebanaran dengan asas kasih sayang di saat semua manusia mempertuhankan material kebendaan. Dan tentunya siapa yang tidak mengenal Muhammad SAW? Ibunyalah yang memainkan peranan, menumbuhkan fondasi karakater yang menjadikan beliau memiliki sifat-sifat para nabi dan rasul pendahulunya.

Wanita Muslim dan Dunia Global

Dunia kita saat ini dikenal sebagai dunia global yang memliki karakteristik, antara lain, kompetisi, kecepatan dan keterkaitan. Mau atau tidak, umat ini berada dalam dunia yang dibangun di atas ‘istibaaq’ (bahasa positif dari kompetisi atau berlomba-lomba) dalam segala aspek kehidupan manusia. Dan karenanya, hanya dua kemungkinan yang terjadi. Iktu mengambil bagian dari perlombaan itu, atau sebaliknya, menyerah dan hanya akan menjadi korban-korban keganasan kompetisi tadi.

Dalam suasana demikian, wanita yang ternyata lebih dari seperdua anggota umat ini akan memainkan peranan yang tidak sedikit dalam kompetisi tadi. Sungguh merupakan kerugian besar jika umat ini mengabaikan peranan kaum wanita dalam upaya meraih kesuksesan dan kemenangan dalam berlomba tadi.

Dan sudah pasti, untuk kaum wanita Muslimah dapat berpartisipasi secara efektif dalam perlombaan tadi, pendidikan menjadi tuntutan utama. Karena ilmu memang juga menjadi factor utama kesuksesan banyak bangsa dalam dunia global yang seringkali dikenal sebagai dunia modern saat ini.

Akankah mengganggu tabiat kewanitaan dan bahkan peranan kerumah tanggan ketika mereka pendidikan tinggi? Jawabannya pasti tidak seharusnya, dan bahkan sebaliknya akan semakin mampu menjalankan tugas-tugas kewanitaannya sesuai tabiat dan komposisi peranan yang Allah SWT amanahkan kepada mereka.

Kita ternyata telah menemukan di masyarakat ibu-ibu yang ‘well educated’, memainkan berbagai peranan yang besar dalam segala aspek kehidupan dan dalam berbagai bidang, termasuk politik, economi, sosial budaya, dan agama, tapi tetap berada pada tabiat kodratnya sebagai wanita dan ibu rumah tangga. Subhanallah!

New York, 3 Januari 2010

Comments

Popular posts from this blog

Doa Majelis

Kupenuhi PanggilanMu ya Allah

Jodohku-Dibalik Perjuangan Seorang Ibu "Titi Marsutji Binti Iskak" (Part 3)