Menjadi Ibu, Nikmat Sekaligus Berat

Sebuah perspektif tentang peran seorang ibu, yang dikirim lewat email dan
Ditulis oleh Farid Ma'ruf pada Maret 5, 2008

People comes from children.
Orang dewasa berasal dari seorang anak. Semua orang dewasa mengalami masa kanak-kanak. Terlahir, bayi mungil, anak-anak, remaja, dewasa dan terakhir meninggal dunia. Etape demi etape tak akan terlewati dengan selamat tanpa sentuhan “tangan dingin” seorang ibu.

Keluarga Samara. Ibu, sosok di belakang layar yang berperan dalam perjalanan hidup seseorang. Ia ada di balik besarnya sebuah nama. Demikian pula sebaliknya. Ibu akan merasa paling bersalah jika anaknya gagal dalam meraih prestasi dalam hidupnya. Sekalipun itu karena kesalahan sang anak sendiri.

Ibu, dialah orang penting yang tahu hampir seluruh urusan keluarga. Semua masalah keluarga mampir di kepalanya. Ibarat kamus atau ensiklopedi, ibu harus mampu membantu si sulung yang sedang garuk-garuk kepala mengerjakan pe-er. Ibu pula yang harus membujuk si bungsu untuk menghabiskan makanannya.Ibu muncul sebagai sosok yang siap siaga dan serba bisa. Kasih sayang, kelembutan dan perhatiannya menempatkan ibu menjadi sosok yang dibutuhkan seluruh anggota keluarga.

Ibu tak hanya dituntut untuk pandai memasak, tetapi harus cerdik pula untuk memutar uang belanja agar cukup sebulan. Alhasil, ibu harus tune in dengan harga-harga sembako dan berkreasi mencari menu murah, meriah tapi padat gizi. Subhanallah, yang pantas untuk mendapat julukan wanita super sebenarnya adalah ibu, bukan wonder women atau cat women yang bisa jumpalitan itu.

Menikmati Peran
Meskipun fakta menunjukkan bahwa untuk menjadi seorang ibu membutuhkan banyak pengorbanan, hampir tak ada seorang wanitapun yang enggan untuk menjadi seorang ibu. Saat seorang wanita menginjak masa untuk menikah, ia akan merasa gelisah jika belum datang jua seorang lelaki untuk meminang.Kegelisahan itu, salah satunya didorong oleh keinginannya untuk segera bisa menimang buah hati. Demikian pula, tak ada seorang ibu yang normal yang menyesal telah melahirkan dan memiliki anak.

Wajar, bila orang menganggap belumlah sempurna seorang wanita bila belum menjadi seorang ibu.Maha Besar Allah yang telah mengkaruniakan naluri memiliki keturunan (Gharizah an-Nau’) pada setiap manusia. Naluri inilah yang mendorong seseorang untuk tertarik kepada lawan jenis, sayang kepada anak-anak, seorang wanita memiliki rasa keibuan, seorang laki-laki memiliki rasa kebapakan, dorongan untuk membina rumah tangga, dan menikmati segala pernik-pernik masalahnya.

Lantas apa yang salah, jika pada kenyataan sering kita mendengar, melihat dan membaca kabar tentang tindak kejahatan yang terjadi dalam sebuah keluarga? Ada ibu yang tega membuang bayinya ke tong sampah atau menjual kegadisan anak pera-wannya. Ibu tega mencekik mati anak sendiri karena sang ayah tak bertanggung jawab dan masih banyak lagi kejadian tragis yang tak masuk akal.Kemana larinya fitrah mulia yang dikaruniakan Allah itu? Kalau bukan karena si ibu sakit jiwa, pasti ada permasalahan yang tak mampu ditanggungnya. Ada yang berpangkal pada masalah materi, karena terhimpit hutang, atau bahkan sekadar mengejar uang dan menghamba pada harta.

Akhirnya, prinsip hidup materialistik itu menjerumuskan mereka untuk menghalalkan segala cara demi mendapat-kan kenikmatan dunia.Jika prinsip hidup materialistik itu mampu ditepiskan, fitrah seorang ibu akan kembali mengambil peranan. Dalam keadaan yang benar dan kondusif, seorang wanita akan muncul sebagai sosok yang lembut, keibuan dan mampu menebarkan kasih sayang serta keanggunannya bagi anak-anak dan keluarga. Dengan fitrahnya, dia akan dengan senang hati dan penuh pengorbanan mengatur ru-mah, melayani suami dan mendidik anak-anaknya. Bukan sebaliknya.

Profesi Sarat Tantangan
Menjalani peran ibu yang ideal tidaklah mudah. Pemahaman materialistik telah menggeser nilai fungsi ibu dari mulia menjadi kuno dan tak berharga. Hamil, menyusui, mema-sak, mengatur rumah, melayani suami dianggap sebagai pekerjaan tradisional yang tak produktif.Seorang ibu rumah tangga dianggap tidak produktif bila hanya bisa bikin anak dan melulu mengurus anak, suami dan rumah. Hanya para wanita yang pandai mencari uang atau berkarir lah yang dianggap wanita produktif.Persepsi masyarakat seperti di atas yang menumbuhkan pe-rasaan “tak ber-guna” jika hanya berprofesi sebagai ibu rumah tangga.

Para ibu terkadang masih bisa berkompromi dengan keletihan psikis dan fisik yang dialami dalam menjalankan perannya di rumah. Tetapi gengsi serta gaya hidup yang sedang in di masyarakat tak mudah untuk dihindari. Apalagi jika semua sepakat bahwa wanita berkarier lebih baik daripada ibu rumah tangga.Pemahaman yang salah tersebut perlu disingkirkan dari masyarakat. Bila tidak, maka akan semakin langka wanita yang tertarik dan bangga menjadi seorang ibu rumah tangga.

Meskipun hanya terlihat “begitu-begitu saja” menjadi seorang ibu bukanlah sebuah pekerjaan yang gampang. Suatu saat, ia bisa berperan sebagai pembantu yang tak pernah berhenti merapikan rumah. Ia juga berperan sebagai ibu yang harus melindungi dan merawat, serta guru yang mendidik anak-anak. Di saat lain, ia harus tampil laksana bidadari bagi sang suami dan melayani seluruh kebutuhannya.

Masalah yang harus diluruskan adalah kerancuan pemahaman tentang fungsi ibu. Seolah ibu bekerja tak akan dapat menjalankan fungsi ibu idola, atau sebaliknya ibu rumah tangga tak akan bisa menjadi ibu produktif.Sejatinya, ibu yang bekerja akan tetap bisa menjalankan fungsi ibu dalam keluarganya, asalkan dia pandai mengatur waktu dan memilih prioritas pekerjaan secara benar.

Tentu wanita bekerja di kantor dan full time lebih berat tantangannya karena dia harus menekuni dua profesi yang sama-sama harus dipertanggungjawabkan.Tugas seorang ibu, dewasa ini semakin bertambah berat. Paham materialisme dan konsumerisme mendorong kebutuhan hidup terus meningkat, sementara tantangan pergaulan modern mengancam kehidupan anak-anak. Sebagai akaibatnya, pilihan bagi seorang ibu untuk bekerja, menjadi ibu rumah tangga atau kombinasi keduanya menjadi semakin sulit dan berat.

Masalah profesionalitas tak hanya diperlukan untuk membangun karier di dunia publik. Menjadi ibu juga butuh profesionalitas. Sebagai ibu, ia harus berusaha keras agar anak-anaknya sukses di dunia dan akhirat kelak.Anak yang sukses adalah anak yang salih, kuat iman, ilmu dan amalnya. Anak yang bisa menolong kedua orang tuanya dari sentuhan api neraka karena doanya dikabulkan oleh Allah.

Anak adalah aset masa depan kedua orang tuanya. Kepada anaklah kita bisa banyak berharap untuk hari tua kita. Jadi, mendidik anak adalah sebuah rintisan masa depan.Ibu harus memikirkan bekal hidup bagi anak-anaknya untuk menghadapi tantangan jaman. Asupan makanan bergizi, pendidikan bermutu tinggi, lingkungan sehat dan kondusif dan sarana prasarana lain yang dibutuhkan. Semua membutuhkan kerja keras, trik-trik yang jitu dan cerdas.Mengatur rumah tangga juga bu-kan perkara mudah, ibu harus berusaha keras menjadikan rumahnya laksana surga.

Rumah yang bisa memberikan ketenangan bagi semua ang-gota keluarganya setelah seharian beraktivitas di luar rumah.Ketenangan yang dituntut adalah ketenangan lahir dan batin. Rumah bersih, teratur dan nyaman sekalipun tidak luas ataupun mewah akan memberikan ketenangan. Apalagi jika ditunjang hubungan yang harmonis antara anggota keluarga Untuk itu, seorang ibu dituntut tampil rapi, bersikap tela-ten dan ulet.

Semua pekerjaan sebagai seorang ibu sesuai fungsinya yang seabreg itu memang berat, tetapi bukan berarti tak bisa dinikmati. Ibu yang ikhlas me-lakukannya untuk beribadah kepada Allah, pasti merasakan nikmat yang luar biasa. Sekalipun tak ada imbalan uang atau kemegahan, surga selalu tampak di pelupuk matanya.

Tantangan Sosial
Kenyataannya, dunia di luar rumah tak seramah dan sesantun seperti yang dibina seorang ibu di dalam rumah. Nilai-nilai aqidah, moral dan budi pekerti luhur bisa hancur dalam sesaat. Lingkungan yang ada bukan ladang yang subur untuk pertumbuhan generasi seperti apa yang ia idamkan.Pergaulan bebas, pornografi, ke-kerasan, kriminalitas, penyalahgunaan narkoba dan aneka kerusakan lainnya megancam di mana-mana. Nilai kebenaran yang ditemui terkadang bertolak belakang dengan apa yang telah ditanamkan ibu.Masyarakat tidak memiliki kesepakatan untuk mengatur dan mendidik keluarga dengan dasar-dasar Islam.

Sebagian besar ibu masih menganggap kesuksesan anak dengan ukuran materi. Ilmu OK, namun iman KO. Tehnologi yahud; keingkaran akut. Maka yang nampak adalah anak-anak yang egois, materialistis, tak bermoral dan jauh dari tuntutan agama.Standard yang berbeda ini menghasilkan anak dengan karakter yang berbeda. Celakanya, anak de-ngan didikan bukan dari nilai-nilai Islam lebih banyak jumlahnya dibandingkan anak “Islami”. Mereka menjadi bagian yang dominan dan didukung oleh lingkungan.Wajar jika banyak orang tua yang khawatir. Ibarat memasukkan bibit ikan ke dalam kolam keruh yang penuh dengan kotoran dan ikan berpenyakit, tak ayal, bibit ikan pun akan tumbuh menjadi ikan berpenyakit.

Melarang anak untuk bergaul de-ngan lingkungan sekitarnya, adalah sebuah solusi yang muskil. Di dalam rumahpun, ancaman degradasi keimanan juga dapat ditemui melalui tayangandi layar televisi. Maka, Ibu perlu berdakwah untuk menyadarkan masyarakat bahwa mereka membutuhkan kesepakatan demi membentuk lingkungan yang sehat bagi pertumbuhan anak-anak. Kesepakatan yang didasarkan oleh sebenar-benarnya ajaran, yakni Islam

Mohamad Joban
Res: (425) 522-4292

Comments

Popular posts from this blog

Doa Majelis

Kupenuhi PanggilanMu ya Allah

Jodohku-Dibalik Perjuangan Seorang Ibu "Titi Marsutji Binti Iskak" (Part 3)